WELCOME ALL VISITORS

Terimakasih karena anda sudah mengunjungi blog ini

Rabu, 28 Oktober 2009

Reaksi Hipersensitivitas

  • Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
  • Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediatedstimulatory hipersensitivity. (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau
  • Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

  • Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
  • Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
  • Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
  • Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
  • Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
  • Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

  • Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
  • Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.
  • Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
  • Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

  • Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)
  • Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis. merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit

Antigen target

Mekanisme

Manifestasi klinopatologi

Anemia hemolitik autoimun

Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh) Opsonisasi dan fagositosis eritrosit Hemolisis, anemia
Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)

Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa) Opsonisasi dan fagositosis platelet Perdarahan
Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin)

Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler Vesikel kulit (bula)
Sindrom Goodpasture Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru

Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc Nefritis, perdarahan paru
Demam reumatik akut Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium

Inflamasi, aktivasi makrofag Artritis, miokarditis
Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptor

Kelemahan otot, paralisis
Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi

Hipertiroidisme
Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel parietal gaster Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12 Eritropoesis abnormal, anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit

Spesifitas antibodi

Mekanisme

Manifestasi klinopatologi

Lupus eritematosus sistemik DNA, nukleoprotein Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, vaskulitis, artritis
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan virus hepatitis B Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Vaskulitis
Glomreulonefirtis post-streptokokus Antigen dinding sel streptokokus Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc Nefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Point of interest

  • Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).
  • Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.
  • Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

  • Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
  • Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
  • Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T

Penyakit

Spesifitas sel T patogenik

Penyakit pada manusia

Contoh pada hewan

Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I) Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)

Spesifisitas sel T belum ditegakkan

Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik
Artritis reumatoid Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi

Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan

Artritis diinduksi kolagen
Ensefalomielitis alergi eksperimental Protein mielin dasar, protein proteolipid

Postulat : sklerosis multipel Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik
Penyakit inflamasi usus Tidak diketahui, peran mikroba intestinal Spesifisitas sel T belum ditegakkan Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.
  2. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.
  3. Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.
  4. Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific, 1988; 233-67.
  5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.

Senin, 26 Oktober 2009

GANGGUAN METABOLISME PROTEIN

GANGGUAN METABOLISME PROTEIN

Kelebihan protein : hampir tidak dikenal penyakit dengan kelebihan protein.

DEFISIENSI PROTEIN. :

Bila pemasukan protein kurang maka akan kekurangan kalori disamping defisiensi asam2 amino yang diperlukan, mineral dan faktor2 lain, missal ; factor lipotropik. Akibatnya pertumbuhan tubuh, pemeliharaan jaringan tubuh, pembentukan zat anti,dan serum protein akan terganggu.
Hal ini nyata pada penderita yang kekurangan protein dalam makanannya , akan mudah terserang penyakit infeksi,luka sukar menyembuh,dan mudah terkena penyakit hati,akibat kurangnya factor lipotropik.

HYPOPROTEINEMI :
Biasanya akibat ekskresi protein serum darah berupa albumin yang berlebihan melalui air kemih. Selain itu juga pembentukan albumin yang terganggu,missal akibat penyakit hati, atau absorbsi albumin kurang akibat kelaparan atau karena penyakit usus.
Albumin karena berat molekulnya kecil (69.000) dibandingkan dengan globulin (150.000), mudah keluar dari pembuluh darah yang cedera atau melalui filtrasi glumerulerKarena itu pada penyakit ginjal sering kehilangan albumin sedang globulin tidak. Karena protein darah sangat menurun dan perbandingan albumin –globulin menjadi terbalik Dengan menurunnya kadar protein darah ,maka tekanan osmotic darah turun sehingga timbul edema (batas 4-5 gram per 100 ml darah ) Akibat hypoproteiemi dalam klinik sering ditemukan penyakit ginjal atau hati, dan parah ditemukan gizi buruk.

HYPO DAN AGAMAGLOBULIN :
Istilah agamaglobulinemi sebenarnya kurang tepat, karena dalam darah selalu ditemukan gamaglobulin meskipun jumlahnya sangat kecil . Dalam darah biasanya albumin serum dan globulin total normal. Dikenal 3 jenis hypogamaglobulinemi : congenital, didapat, dan sementara.

HYPOGAMAGLOBULINEMI KONGENITAL :
Merupakan penyakit herediter, terutama ditemukan pada anak2 berumur 9 bulan sampai 2 tahun. Anak tersebut biasanya mudah menderita infeksi , sering oleh stafilokokkus aureus, pneumokok, streptokok, meningie. Bila diperiksa ternyata plasma darah tidak mengandung gamaglobulin. Kematian sering terjadi akibat infeksi, dan bila diperiksa histologik, tidak ditemui dalam plasma darah. Kelenjar limfe korteksnya tipis dan mengandung limfosit kurang dari normal, lien kecil. Pada penderita sering juga terdapat arthritis kronika yang menyerupai arthritis rheumatoid. Artritis ini mungkin bersifat penyakit hypersensitivitas karena tubuh tidak dapat membentuk immune gammaglobulin.

HYPOGAMAGLOBULINEMI DIDAPAT (ACQUIRED) :

Ditemukam pada pria maupun wanita, dan pada semua usia . Penderita mudah terkena infeksi. Selian itu terdapat pula hyperplasi kompensatorik dari pada sel reticulum , sehingga mengakibatkan lymfodenophathia dan splenomegalia dan kadang2 juga terjadi hyperplasi kompensatorik dari kelenjar tymus.

HYPOGAMAGLOBULINEMI SEMENTARA :
Hanya ditemukan pada bayi,mungkin merupakan masa peralihan pada waktu gamaglobulin yang didapat dari ibu habis dan anak harus membentuk gamaglobulin sendiri. Masa transisi ini biasanya terjadi pada usia 4 – 12 minggu. Masa ini hanya sebentar, oleh karena anak bisa membentuk gamaglobulin sendiri. Namun pada masa ini dapat menimbulkan infeksi keras yang bisa menyebabkan kematian.

GANGGUAN METABOLISME PROTEIN.
Dua penyakit yang berhubungan dengan metabolisme protein ialah : pirai (gout arthritis) dan infark asam urat pada ginjal. Pada kedua kelainan ini terdapat gangguan metabolisme asam urat sehingga serum meninggi dan terjadi pengendapan urat pada berbagai jaringan.Asam urat ini merupakan hasil akhir dari pada metabolisme purin . Berasal dari reruntuhan asam2 nukleat menjadi purin dan akhirnya asam urat. Protein ini berasal dari tubuh sendiri dan dari makanan. Sebagiazn asam urat ini dioksidasi menjadi ureum dan diekskresi.

PIRAI (GOUTY ARTHRITIS)
Secara klinis penyakit ini merupakan arthritis akuta yang sering kambuh secara menahun. Pada berbagai jaringan ditemukan endapan2 urat yang merupakan tonjolan2 yang disebut tophus biasanya terdapat disekitar sendi, sering juga tulang rawan daun telinga . Pengendapan juga terdapat pada ginjal juga pada jantung. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria usia pertengahan atau lebih tua. Penyakit ini juga cenderung timbul secara familial. Dalam satu keluarga, satu diantara lima anggota dapat terkena penyakit ini. Kadang secara klinis tidak tampak manifestasi pirai, tetapi dalam darah terdapat hyperurecaemia. Dasar gangguan metabolic ini tidak diketahui tetapi meningkatnya kadar asam urat darah dapat disebabkan :
1.destruksi asam urat dalam tubuh berkurang.
2.ekskresinya berkurang.
3.pembentukannya berlebihan.
Pada payah ginjal adanya reabsorbsi glomeruler, retensi asam urat, adanya metastatik sehingga timbul penimbunan2 urat pada tempat2 tertentu.
Kelainan khas disebut tophus :terdiri atas endapan urat,berwarna putih seperti kapur,pada jaringan . Tophus tersebut biasanya dikelilingi zone hyperemic Mula2 kecil tidak teratur
Kemudian menjadi satu dan besar,pada permukaan sendi .
Endapan kristal urat natrium pada ginjal menimbulkan gouty nephritis biasanya pada piramide.
Pada penderita pirai sering ditemukan pula hipertensi dan penyakit vasculer yang keras seperti arteriosclerosis umum dan arteriosclerosis pembuluh ginjal
Pada kasus ini kira2 10% meninggal karena ginjal ; gouty nephritis, nephrosclerosis dan pyelonephritis.
ENDAPAN URAT PADA GINJAL :
Pada ujung2 piramide ginjal pada bayi dan pada penderita leukemia dan polisitemia terdapat endapan2 urat.
Pada ginjal bisa terjadi infark asam urat . endapan terdapat pada tubulus kontortus ,kemudian epitel peritubuler.
Syndrom Nefrotik.
Adalah keluarnya protein lebih dari 3,5 gram melalui urine perhari. Dalam keadaan normal hampir tidak ada protein yang keluar melalui urine . Syndrome nefrotik mengisyaratkan cedera glomerulus yang berat.
Hilangnya protein2 plasma menyebabkan hipoalbuminemia dan hipoimmunglobulinemia
Manifestasi klinik antara lain adalah mudah infeksi (akibat hipoimmunoglobulin) dan edema anasarka, hiperlipidemia peningkatan lemak2 plasma berkaitan dengan hipoalbuminemia. Penatalaksanaan diet : protein normal, rendah lemak. Garam dibatasi.
Bisa diberi diuretik utk pengeluaran cairan. Bisa diberi tambahan protein kecuali apabila dicurigai adanya gagal ginjal ( protein memperburuk gagal ginjal)

GANGGUAN METABOLISME LEMAK.
Kelebihan lemak (Obesitas) :
Meskipun obesitas bukan merupakan penyakit, tetapi dapat memperkeras atau menyebabkab timbulnya penyakit , misalnya : dibetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi dan lain-lain., maka dapat dianggap patologik juga.

Dianggap bahwa obesitas terjadi bila mendapat kalori lebih dari yang dimetabolisasi. Anggapan lain mengatakan bahwa ada orang yang hanya memerlukan metabolisme yang hanya sedikit dan dapat menjadi gemuk, meskipun mendapat diit berkalori rendah.
Hypometabolisme dapat terjadi pada hipopituitarisme dan hipothyroidisme, karena pada penderita tersebut kalori yang dibutuhkan menurun sehingga berat badan naik, meskipun makan yang tidak berlebihan untuk ukuran orang normal.
Pada obesitas lemak berlebihan ditimbun pada jaringan subcutis, retroperitoneum dan peritoneum serta omentum. Jaringan lemak juga dapat berlebihan pada jaringa subepicardium dan pancreas. Juga hati bisa terjadi penimbunan lemak tapi bukan perlemakan pada gizi buruk. Adapula penimbunan lemak subcutis yang tidak merata, menyebabkan semacam tumor yang nyeri tekan, disebut adiposis dolorosa.

HIPERLIPEMI :
Pada beberapa keadaan jumlah lipid total dan kolesterol meningkat, yaitu pada diabetes mellitus, hypothyroidisme , cirrosis billiaris xanthoma.
Hiperlipemi juga dapat terjadi pada dinding pembuluh darah ( arteri ) disebut arterosklerorik.
Pada jaringan subcutis kadang-kadang dapat terjadi penimbunan lemak dalam makrofag disebut sel Xanthoma yang membentuk kelompok sel yang menyerupai tumor.
Xanthoma sering terjadi pada kelopak mata , disebut xantholesma, juga bisa terdapat pada lipat paha, siku dll, terutama jaringan longgar.

DEFISIENSI LEMAK :
Terjadi pada kelaparan (starvation), gangguan penyerapan ( malabsorption), pada keadaan ini tubuh terpaksa mengambil kalori dari simpanan karena intake yang kurang, yang domobilsasi selain lemak juga karbohidrat, pada gizi buruk yang keras akhirnya diambil protein dari jaringan lemak sehingga vakuol yang ditempati oleh lemak menjadi keriput.,sel menjadi longgar dan diisi oleh transudat., makin banyak lemak yang hilang makin banyak cairan interstitium.
Karena karbohidrat yang disimpan tidak banyak dibanding dengan simpanan lemak, maka turunnya berat badan , merupakan cermin mobilisasi lemak dari depot2nya, dan baru kemudian menyusul protein.
Dengan menghilangnya lemak maka alat tubuh mengecil.
Alat tubuh dibagi atas 3 golongan :
1.Alat tubuh yang kehilangan berat sejajar dengan turunnya berat badan ( pancreas, kelenjar parotis, dan submaxillaris).
2.Alat tubuh yang kehilangan berat lebih banyak dibandingkan dengan turunnya berat badan( thymus, limpa dan hati ).
3.Alat tubuh yanmg kehilangan berat hanya sedikit dari turunnya berat badan (ginjal, ovarium, testis, thyroid, jantung dan otak.)


GANGGUAN METABOLISME KARBOHYDRAT. (KH)

DIABETES MELLITUS (DM)
Merupakan penyakit menahun yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohydrat.
Dasarnya ialah defisiensi insulin atau gangguan faal insulin. Penyakit ini disertai hyperglycaemia yang ber-larut2 dan glycosuria diikuti oleh gangguan secunder dalam metabolisme protein dan lema, Berdasarkan definisi glukosa darah puasa harus lebih besar daripada 140 mg/ 100 ml.
Diabetes adalah kata Yunani, yang berarti mengalirkan atau mengalihkan, Mellitus adalah kata latin untuk madu atau gula. Diabetes Millitus, adalah penyakit dimana seseorang mengeluarkan atau mengalirkan sejumlah besar urine yang terasa manis. Paling sedikit terdapat tiga bentuk Diabetes Millitus ( DM ). DM tipe 1, DM tipe 2, dan Diabetes Gestasional.
1.DM Tipe 1;
Adalah penyakit hiper glikemi akibat ketiadaan absolut insulin. Penyakit ini disebut DM Dependent Insulin. Pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti, DM tipe 1 biasanya dijumpai orang yang tidak gemuk, berusia kurang dari 30 tahun. Laki-laki biasanya lebih banyak dari wanita. Memuncak nya pada usia remaja dini, maka, disebut juga sebagai diabetes juvenilis, namun dapat timbul juga pada segala usia. Diabetes tipe 1, dapat timbul setelah inveksi virus misalnya gondongan (“MUMPS”), Rubela CMV kronik atau Toksin pada golongan nitrosamin yang terdapat dalam daging yang diawetkan, dapat juga pengaruh ginetik / turunan.

2.DM tipe 2;
Adalah penyakit hiper glikemi akibat insensitivitas sel terhadap insulin, kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentan normal. DM tipe 2 , dianggap sebagai non insulin dependent. Biasanya timbul pada orang berusia lebih dari 30 tahun. Disebut sebagai Diabetes Awitan dewasa. Wanita lebih banyak dari pria. Berkaitan dengan kegemukan, pengaruh genetik. Individu mengidap diabetes

Meskipun terdapat banyak kemajuan untuk dapat menegakkan diagnosa dan terapi, tetapi penyakit ini termasuk dalam kelompok penyakit yang paling banyak menimbulkan kematian.
Yang merupakan tantangan ini adalah mencegah komplikasinya. Penyakiy ini kebanyakan ditemukan pada orang- orang berusia 50-60 tahun, tapi dapat juga pada usia lanjut.
Pada usia 40 th.th. lebih banyak ditemukan pada wanita (3: 2). Penyakit ini diturunkan secara resesif autosomal. Jika ke dua orang tua menderita DM, maka semua anak akan predisposisi menderita penyakit tersebut. Apabila salah satu orang tua, atau dan kakek menderita DM maka 50% anaknya/keturunannya akan menderita DM pula.

Etiologi :
Sebab yang tepat timbulnya penyakit DM belum diketahui , tetapi diantaranya disebabklan oleh timbulnya defisiensi insulin, relatif atau absolut. Jadi dibutuhkan lebih banyak dari pada yang dapat dibentuk oleh tubuh.
Insulin dibentukm oleh sel2 beta. Pada sel alpa terdapa faktor hiperglikemik dan glikogenolitik, yaitu glukagon. Glukagon mempunyai efek anti insulin, dapat menimbulkan glikogenolisis, jadi menimbulkan meningkatnya kadar gula dalam darah .

KARBOHIDRAT, PROTEIN, DAN LEMAK paska absorbsi usus, melalui vena porta, menjadi monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan dalan hati (glikogenesis), dari depot glikogen ini , glukose dilepas secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis), untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sebagian glukose dimetabolisme dalan jaringan untuk menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen disimpan dalam subcutan, menjadi lemak. Hati juga mampu mensintesis protein dan lemak (glukoneogenesis). Fungsi insulin untuk memasukkan glukose dalam sel menghasilkan ATP (adenosin trifosfat) berfungsi menjalankan fungsi sel.
Pada DM dimana terjadi defisiensi insulin sehingga glukose tidak dapat masuk sel, maka hati mulai melakukan glukoneogenesis, dari asam amino dan asan lemak bebas dan glikogen yang akan menghasilkan ATP. Pembentukan energi yang hanya mengandalkan asam2 lemak menyebabkan produksi benda2 keton oleh hati meningkat. Keton bersifat asam, menyebabkan Ph plasma turun, ketoniuri, Ph dibawah 7,3 dapat menyebabkan asidosis metabolik menyebabkan pernafasan Kussmaul karena tubuh berusaha mengurangi asidosis dengan mengeluarkan CO2

KLINIK :
POLYPHAGI : tubuh tak sanggup memetabolisme KH, sehingga akan makan banyak sekali, selain itu POLYDIPSI ;adanya glukosuria terjadi dehidrasi(diuresis osmotik), POLYURIA,selain itu penderita kehilangfan berat badan, cepat lelah, lemah mudah terkena infeksi, tractus urinarius, pruritus, perubahan retina, degenerasi syaraf tepi (neuritis diabetica), gangguan reflex tendo.
Pada DM ringan ,stadium dini, gejala-gejala belum jelas, tanpa gejala sama sekali.
Untuk menegakkan diagnose, dengan pemeriksaan gula darah puasa, 2jam pp, GTT.
KOMPLIKASI :
Salah satu komplikasi yang gawat adalah arteriosklerosis, atherosklerosias, dimungkinkan adanya hyperkholesterolemia. Sklerosis pembuluh darah paling nyata ialah aorta, a. koronaria, arteri ginjal, arteri mata(retinitis diabetik), bisa terjadi diabetik gangrenosa.

Rabu, 21 Oktober 2009

ISTIRAHAT DAN TIDUR

ISTIRAHAT DAN TIDUR

• Pengertian tidur menurut teori Maslow:
• - Tidur salah satu kebutuhan dasar manusia
- Proses universal yang terjadi pada setiap orang
• Suatu keadaan tidak sadarkan diri yang relative
• Tidur diperlukan agar sel dalam tubuh dapat memulihkan kondisinya
• Tidur merupakan bagian penting dalam setiap aturan hidup sehat
• Keadaan tidak sadar yang dialami manusia yang dapat dibangunkan kembali dengan indra / rangsangan yang cukup ( Guyton 1981 )
• Keadaan seseorang yang sadar, yang diikuti dengan penurunan presepsi dan reaksi terhadap stimulus lingkungan
• Karateristik Tidur:
- Aktivitas fisik minimal
- Sadar
- Terjadi perubahan proses fisiologis tubuh
- Menurunnya respon terhadap stimulus external ( Hayter 1980 )

Tujuan Tidur :
Secara jelas tidak diketahui, tidur perlu untuk menjaga keseimbangan mental emosional dan kesehatan.

Fungsi Tidur :
• Proteksi dan restorasi
• Everything will look better after a good night’s sleep
• Mengembalikan kesegaran fisik
• Munurunnya stress dan kecemasan
• Mengembalikan kemampuan berkonsentrasi dalam menghadapi masalah dan melakukan aktivitas sehari-hari



Fisiologi Tidur :
• Pengaturan tidur pada batang otak, yaitu RAS ( Retikularis Activiting System ) dan BSR ( Bulbar Syhchroninizing Region )
• Formasio reticularis Medula spinalis Pons Otak tengah
Hipotalamus
• Ras digambarkan sebagai status tubuh tang sadar dan meerima input sensorik
memungkinkan tetap bangun dan sadar
• Hipotalamus sebagai pasti aktiv involunter tidur dan bangun
• Perubahan fisik saat tidur ( penurunan tekanan darah, penurunan denyut nadi, dilatasi pembuluh darah perifer, kadang menaikan aktivitas traktus gastrointestinal, relaksasioto skletal, menurunnya basal metab 10-30 %

Bioritmik :
 Dikontrol oleh tubuh dan sikronisasikan dengan lingkungan
 Tiap siklus bioritmik mempunyai gerakan naik dan turun
 Bervariasi tiap individu
 Klarifikasi ( irama sirkadian = siklus satu harian, irama infradian = siklus bulanan, irama ultra radian = siklus lengkap satu menit dan jam
 Deters (1980 ) : bioritmik bersifat endrogen selalu muncul dalam tubuh manusia dan tetap tinggal tanpa dipengaruhi oleh lingkungan
 Tidur merupakan irama sirkadian sinkronisasi bangun tidur mengikuti kondisi biologis tubuh

Tahap – Tahap Tidur :
1. NREM : Non Rapid Eye Movement
a. Tahap I – II
• 50-60 % waktu tidur
• Berespon terhadap cahaya dan mudah bangun
• Merupakan transisi ( 5 menit ) dari sadar s/ tidur
• Seseorang merasa kabur, rilex
• Mata bergerak kekanan dan kekiri
• Kecepatan jantung dan RR turun dan naik
• Gelombang alfa sewaktu sadar diganti dengan betha yang lebih lambat

b. Tahap II ( tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun )
• Mata masih bergerak – gerak
• Kecepatan jantung dan RR menurun
• Slb dan metabolisme menurun
• Berlangsung 10-15 menit

c. Tahap III dan IV ( Tidur delta )
• 20 % waktu tidur
• Tidur nyeyak ( deep sleep )
• Delta sleep or slow ware sleep ( sws )
• Tekanan darah, nadi dan RR / s/ kenilai rata –rata yang rendah
• Seseorang menjadi lebih lambat setelah dibutuhkan rangsang yang intensif untuk membangunkan
• Gelombang otak menjadi lebih teratur & terdapat penambahan gelombang delta yang lambat

2. Tahap Tidur REM
• Lebih sulit untuk dibangunkan dibandingkan NREM
• Normal REM : 20-25 % dari tidur malam pada orang dewasa
• Jika terbangun maka biasanya terjadi mimpi
• REM penting keseimbangan mental, emosi juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi




• Karateristik Tidur REM
a. Mata : cepat menutp dan terbuka
b. Otot-otot : kejang otot kecil, otot besar immobilisasi
c. Pernapasan : irregular, kadang dengan apoea
d. Nadi : cepat dan irregular
e. Tekanan darah : meningkat / fruktuasi
f. Sekresi Gaster : meningkat
g. Metabolisme : meningkat, temperature tubula naik
h. Gelombang otak : EEG aktif
i. Siklus tidur : sulit dibangunkan

• Pola Tidur Normal:
1. Noenatus s/d 3 bln
- Kira –kira membutuhkan 16 jam / hari
- Mudah berespon terhadap stimulus
- Pada minggu pertama kelahiran 50 % adalah tahap REM

2. Bayi
- Pada malam hari + tidur 8-10 jam
- Usia 1 bln s/d I thn kira – kira tidur 14 jam/ hr
- Tahap REm 20-30 REM

3. Todleer
- Tidur 10-12 jam / hr
- 25 % tahap REM

4. Pre school
- Tidur 11 jam pada malam hari
- 20% REM

5. Usia sekolah
- Tidur 10 jam pada malam hari
- 18,5 % tahap REM

6. Adolecence
- Tidur 8,5 jam pada malam hari

7. Dewasa
- Tidur 7-9 jam/hr
- 20-25 % tahap REM

8. Usia dewasa pertengahan
- + 7 jam/hr
- 20 % tahap REM

9. Usia tua
- + 6 jam/hr
- 20-25% tahap REM
- Tahap IV REM menurun kadang-kadang absent / tidak ada
- Sering terbangun pada malam hari

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tidur :
1. Penyakit
Seharusnya >> banyak istirahat dari pada kondisi normal. Tapi dengan
adanya sakit menjadi terganggu, seperti asma, bronchitis,
cardiovaskuler, dan penyakit pernafasan

2. Lingkungan
Terbiasa ditempat yang nyaman / tenang , tempat gaduh/bising
Terganggu

3. Motivasi
Keinginan orang jadi tahan untuk tidak tidur

4. Kelelahan
Dapat memperpendek periode I dari REM

5. Kecemasan
Saraf simpatis meningkat tidur terganggu

6. Alkohol
Menekan REM secara normal

7. Obat-obatan
Seperti: - Deuretik : menyebabkan insomnia
- Anti depresan
- Kaffein meningkatkan saraf simpatis
- Beta Bloker
- Narkotika

GANGGUAN TIDUR

1. Insomnia
Ketidakmampuan memperoleh secara cukup kualitas dan kuantitas
tidur
Ada 3 macam insomnia :
1) Initial Insomnia :
kemampuan untuk tidur tidak ada
2) Intermiten Insomnia :
ketidakmampuan untuk tetap mempertahankan o/k sering
terbangun

3) Terminal Insomnia :
Bangun > awal tapi tak pernah tidur kembali

Etiologi Insomnia :
- Ketidakmampuan fisik
- Peminum alcohol

2. Hipersomnia
Berlebih jam tidur pada malam hari > 9 jam

Etiologi Hipersomnia :
- Depresi
- Kerusakan saraf tepi
- Beberapa penyakit ginjal
- Metabolisme : tubuh

3. Parasomnia
Merupakan sekumpulan penyakit yang mengganggu tidur anak
seperti: samnohebatisme ( tidur sambil jalan )

4. Narcolepsy
Suatu keadaan yang ditandai dengan keinginan yang tidak terkendali
untuk tidur

5. Apnoe tidur dan Mendengkur
Mendengkur bukan gangguan, tapi bila disertai apnea akan
menjadi masalah. Mendengkur o/k adanya rintangan pengeluaran
udara dihidung dan mulut. Misal: adanya pembesaran tonsil
( amandel) ; otot-otot dibelakang mulut mengendor dan bergetar



6. Mengigau
Terjadi sebelum tidur REM

Pemeriksaan Diagnostik Untuk Tidur ( mengetahui )
• Elektromiogran ( EMG ) untuk merekam / mengukur tonus otot
• Elektro Oculogram ( EDG ) untuk mengukur pergerakan mata
• Elektro Encepalogram ( EEG ) merekam aktivitas listrik

EEG, ERIG ; dan EOG mampu mengidentifikasi signal yang berbeda pada level otak, otot dan aktivotas mata

DAMPAK TIDUR TERHADAP GANGGUAN JIWA

(m.iqbal zamani)

A. Pengantar
Tidur merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Kira-kira sepertiga waktu hidup manusia dilewatkan dalam keadaan tidur. Dahulu tidur dianggap sebagai suatu keadaan yang mirip sekali dengan kematian; dalam keadaan tidur tidak terjadi apa-apa, manusia kehilangan kesadarannya, juga kehilangan kemampuannya. Dan mitologi dikisahkan bahwa Dewa tidur bersaudara dengan dewa kematian. Ternyata anggapan seperti itu kemudian terbukti keliru, karena selama tidur terjadi serentetan peristiwa yang punya makna fisik dan psikologis. Dengan tidur manusia menghilangkan kelelahan fisik dan mental.
Kesehariannya aktifitas kita dibagi menjadi tiga yaitu sepertiga untuk bekerja, sepertiga untuk bersenang-senang dan sepertiga untuk tidur. Bagi orang dewasa normal kebutuhan waktu untuk tidur berkisar antara 6 sampai 7 jam dalam sehari, sedangkan lanjut usia waktu tidurnya lebih sedikit. Pada umumnya para pakar tidur menduga tidur mempunyai peran restorasi (pemulihan) yaitu untuk pemeliharaan kesegaran tubuh sepanjang hidup kita. Dalam keadaan normal orang bisa mengalami gangguan tidur (insomnia) disebabkan karena adanya penyakit fisik yang mendadak seperti panas yang tinggi, rasa nyeri hebat, gangguan emosional dan lain-lain.
Jutaan orang di dunia apakah Amirika atau Indonesia telah mengalami insomnia setiap malam dalam tiap tahun. Allan-Rechtschaffen dalam penelitiannya tentang tidur melalui pertanyaan sederhana seperti apakah anda mengalami kesulitan untuk jatuh tidur atau sering terbangun?, hasilnya ternyata 14 dari 100 penduduk menjawab sering, hal ini berarti 14 % dari populasi sering menderita insomnia. Tiga puluh persen (30%) penderita anxietas mengalami insomnia, demikian kasus depresi. Jutaan orang pada setiap hari menderita depresi yang ringan sampai berat. Sebagai contoh proses insomnia patologis pada kasus depresi berlangsung lama, intensitasnya tinggi dan menyebabkan efesiensi kerja keesesokan harinya menjadi kurang. Depresi merupakan manifestasi dari gangguan emosional yang dapat memperlihatkan beberapa bentuk seperti sering terjaga dalam tidur atau terbangun pada dini hari Hal ini terjadi karena adanya gangguan problem finansial, dapat pula karena kesulitan marital dan social, adanya kecelakaan atau kehilangan yang dikasihi atau tak berhasilnya ambisi-ambisi pribadi.
Kekurangan tidur dalam jangka waktu tertentu menimbulkan keluhan rasa lelah, penurunan psikomotor, hipersensitif terhadap rangsangan nyeri (fisik dan mental), kurang gesit, kesulitan dalam hubungan sosial, peningkatan libido, gangguan konsentrasi berfikir, kebingungan, emosi labil, ingatan menurun dan gangguan kejiwaan.

B. Pengertian tidur
Batasan tidur sulit diseragamkan, tergantung dari sisi mana orang melihatnya; Hartmann mengemukakan tentang batasan tidur adalah suatu keadaan tertentu yang teratur dan berulang, ditandai dengan keadaan yang relative tenang/diam dan meningkatnya ambang terhadap rangsangan dari luar dibandingkan dengan saat jaga ( bangun )
Penulis lain membuat batasan tidur sebagai suatu keadaan yang bersifat diurnal, ritmis dimana orang dalam keadaan diam dengan kesadaran ditekan sehingga ia terpisah dari lingkungannya. Fenomena tidur dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan menutupnya mata, kontriksi pupil, relaksasi otot-otot, menurunnya tekanan darah, detak jantung dan metabolisme yang fisiologis dan berulang disretai gambaran rekaman otak yang karakteristik.

B. Fase-fase Tidur
Berdasarkan atas tanda-tanda yang baku, terutama gerakan bola matanya, maka tidur sebenarnya terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Fase Non REMS ( Non Rapid – Eye – Movement – Sleep ) dan
2. Fase REMS ( Rapid – Eye – Movement – Sleep )


C. Tanda/gejala tidur :
a. Fase Tidur Non REMS
Disebut juga fase sinkronisasi, tidur S atau tidur tanpa mimpi.
Fase ini ditandai dengan timbulnya gelombang lambat dalam rekaman otak yang disebut Slow Wave Sleep dan tidak adanya gerakan bola mata yang intensif dan cepat. Rekaman otot menunjukkan penurunan kegiatan otot dibandingkan waktu bangun.
Tidur S terdiri atas 4 tingkatan, berdasarkan atas kedalaman tidurnya, yaitu
Tingkat 1 Ngantuk ( drawsiness )
Saat masih baru terlena dan merupakan transisi dari bangun ke tidur. Tidurnya masih dangkal dan mudah dibangunkan dengan suara atau sentuhan ringan. Otot-otot mulai relaksasi sehingga tidak lagi mampu menyangga kepala dan tubuh agar tetap tegak, kecuali otot spingter justru berkontraksi untuk mencegah agar tidak beser kencing atau berak. Pada orang normal, tidur tingkat 1 ini merupakan 5 – 10 % bagian dari total waktu tidur. Pada EEG muncul gelombang α, β. dan α ( teta ) ( belum merasa tidur betul ).
Tngkat 2 Tidur ringan ( Light steep )
Permulaan dari tidur yang sebenarnya dan bila dibangunkan orang ini sudah merasakan tidur. Pada rekaman otak sudah mulai muncul gelombang tidur (sleep spindle) dan K – kompleks. Dan akhir tidur tingkat 2 ditandai dengan munculnya gelombang δ ( delta ).
Pada orang normal lamanya tidur ini sekitar 15 – 20 menit, Yang dimaksud dengan sleep Latency adalah mulai munculnya tidur tingkat 2 dengan permulaan orang tersebut memejamkan mata, orang normal sleep latencynya 5 – 13 menit. Pada orang dengan gangguan tidur sleep latency-nya lebih lama dari 13 menit.
Tingkat 3 Tidur sedang ( Moderete sleep )
Tidur yang cukup dalam sehingga lebih sulit dibangunkan dan terjadi sekitar 30 – 45 menit setelah permulaan tidur. Merupakan bagian 3 – 4 % dari seluruh waktu tidur. Pada EEG ada gelombang lambat (slow wave) delta dan teta yang jelas mencapai 50 % gelombang rekaman. K-kompleks jumlahnya menyolok dan dominan.

Tingkat 4 Tidur Dalam ( Deep Sleep )
Tidur lelap atau nyenyak yang paling sulit dibangunkan. Tonus otot hilang sama sekali dan mata berhenti bergerak irama pernafasan dan detak jantung menurun. Rekaman otak dominasi gelombang delta lebih dari 50 %, sleep spindle menurun, sehingga tidur tingkat 4 dan 3 ini disebut juga tidur delta. Pada manusia yang disebut slow wave sleep ( SWS ) adalah tidur delta ini ( tingkat 3 dan 4 )
b. Tidur REMS ( Rapid – Eye – Movement – Sleep )
Atau Tidur D, Pada tidur ini tonus otot yang semula hilang muncul kembali, terutama otot ekstremitas dan rahang bawah, bahkan sekali-kali mengejang. Bola mata bergerak bahkan dengan kecepatan tinggi namun tetap dalam keadaan tidur dalam ( paradox )
Tidur D terjadi sekitar 70 – 90 menit setelah mulai tidur dan lamanya bervariasi dari 5 menit (pada siklus awal) sampai dengan 60 menit (pada siklus akhir tidur). Periode mulai memejamkan mata sampai mulainya REMS disebut REMS latency yang punya arti klinis pada gangguan tidur. Tidur REM merupakan 20 – 25 % total tidur. Rekaman otak menunjukkan adanya gelombang frekwensi tinggi dan voltage rendah yang mirip rekaman otak orang bangun, disertai gerakan mata regular tapi sporadic. Tidak ada gelombang delta, spindle sleep dan K- Kompleks, namun ada gelombang teta didaerah hipokampus.

D. Irama Circardian
Kegiatan berulang (siklus) yang terjadi selama kira-kira sehari. Ritme Circardian adalah suatu keadaan fisiologis hormonal yang fluktuatif secara tetap selama 24 jam.
Irama circardian artinya Circa = kira-kira dan Dian = hari, irama ini merupakan bagian dari irama kegiatan kehidupan yang disebut bioritma. Tidur dan bangun merupakan salah satu manifestasi irama circardian yang berlangsung selama kurang lebih 24 jam mengikuti irama siang dan malam atau terang dan gelap.
Pada malam hari terdapat kemudahan untuk tidur karena pada malam hari lingkungan sekitar kita tenang dan cuaca lebih sejuk. Namun yang terpenting adalah factor dari dalam tubuh sendiri, pada malam hari timbul rasa ngantuk akibat lepasnya berbagai jenis neurohormon yang merangsang tidur. Sebaliknya pada siang hari lebih pas untuk mencari nafkah dan melakukan kegiatan produktif, karena suasana lingkungan yang terang benderang dan hilangnya rasa kantuk.
Irama circardian berkaitan erat dengan kerja susunan syaraf ( SS ) otonom yang terdiri 2 komponen, yaitu syaraf simpatik dan para simpatik. Pada siang hari akibat factor dari luar dan dalam tubuh terjadi peningkatan SS simpatik sehingga tubuh mempunyai kemampuan siap siaga menghadapi perjuangan sebaliknya SS parasimpatik menurun kegiatannya. Pada malam hari Kegiatan SS parasimpatik meningkat sedangkan kegiatan SS simpatik menurun atau tetap. Kondisi ini disebut Trophotropic endophylactic.

E. Lonceng Tubuh
Berkaitan dengan irama circardian diduga ada lonceng didalam otak yang mengatur irama tersebut dengan perubahan pencahayaan oleh mata. Lonceng tubuh didalam otak ini mempunyai jalur saraf dengan mata, lonceng tubuh ini terletak di inti supraklasma hipotalamus.
Hipotalamus merupakan bagian otak yang mengatur SS otonom, sedang SS otonom adalah SS yang mengendalikan fungsi jaringan tubuh yang bekerjanya diluar kemampuan kita, suhu tubuh, tekanan darah, detak jantung, pernafasan, pelepas hormon, serta tidur dan bangun.
1. Persarafan terkait dengan tidur
Struktur bagian otak yang terkait dengan tidur dan bangun;
a. Basal forebrain
b. Inti thalamus intralamina
c. Formasio retikularis
d. Bahan penidur dalam tubuh
Tubuh mengeluarkan beberapa macam bahan yang dapat menimbulkan kantuk dan tidur antara lain :
a. Delta sleep inducing factor
b. Crowth hormone releasing factor
c. Somatostatin
d. Growth hormone
e. Arginine vasotocin
f. Prostadglandins
g. Metil peptides ( Faktor s )
h. Sirotonin
i. Melatonin Uridine
j. Adenosine
Selain itu tubuh juga mengeluarkan beberapa bahan yang menyebabkan bangun ( jaga ) antara lain;
a. Alpa-meinocyte-stimulating hormone
b. Corticotropin releasing factor
c. Thyrotropin releasing hormone dan
d. Endogenous opioids.
2. Fisiologi Tidur dan bangun
Bangun (jaga) berkat rangsangan terus-menerus batang otak melalui ARAS. Rangsangan akan berkurang manakala kegiatan meningkat dari system refe yang letaknya dibatang otang menekan ARAS.
Pada malam hari setelah matahari tenggelam, produksi meltonin meningkat berlipat ganda diduga jumlah serotonin diotak juga meningkat, Berawal dari tidur S ( non REMS). Tidur D ( REMS ) berkaitan dengan SS kolernergik dan SS Andrenergik yang intinya banyak terkumpul didaerah pons tepatnya didaerah Locus Cocruleus.

3. Gangguan Tidur
a. Insomnia
Tanda dan gejala : kesulitan mulai tidur, mudah terjaga saat tidur, bangun pagi sebelum waktunya
b. Excessive sleepiness, excessive day-time sleepiness ( EDS ), Day Time Sleepinees
Tanda gejala : tidur siang berlebihan, hypersomnia, kesadaran terganggu kesiapsiagaan dan koordinasi gerakan menurun.
c. Circardian sleep-wake Rhythm disorders ( kelainan irama circardian tidur dan bangun
Tanda gejala : pola tidur dan bangun tidak lagi sesuai, rasa capai, ngantuk tidak pada waktunya performen menurun selama bangun
d. Parasomnia
Tanda dan gejala : kelainan fisiologik dan patologik dari gerakan, Fungsi susunan saraf otonomik dan tingkah laku sebelum selam dan sesudah tidur.
F. Manfaat tidur
Restorasi pemulihan kesegaran tubuh ditunjukkan ;
Selama tidur S terjadi ;
a. anabolisme yaitu sintesa protein dan RNA
b. Mencegah kelelahan fisik dan psikik
c. Restorasi setelah mengalami kerja keras, nyeri dan cedera
Selama tidur D terjadi :
a. Memulihkan kemampuan belajar
b. Mengkonsolidasi ingatan
c. Restorasi sistem andrenergik ( Katekolamin )
d. Restorasi sistem Retikuler ( ARAS ) untuk menyiapkan kesiapsiagaan
G. Mimpi
Di dalam fase tidur D ini diyakini sebagai saat timbulnya mimpi, oleh karena 85 % orang yang dibangunkan pada saat tidur D dapat menceritakan mimpinya secara rinci, sedangkan bila dibangunkan pada fase tidur S orang tersebut tidak dapat bercerita tentang mimpinya.
Penelitian Detre dari Yale Medical School pada penderita depresi yang berat, yang pernah mencoba bunuh diri, maka mimpi-mimpinya bukanlah hal-hal yang menakutkan ataupun yang kasar (violence). Mereka terutama bermimpi tentang kesepian dan kesendirian kadang-kadang bermimpi diatas bukit dan melihat jurang yang dalam, kadang-kadang bermimpi ditepi pantai yang sepi disekitar batu-batu karang. Biasanya penderita depresi berat bermimpi tentang kesendirian dan kesepian di alam luas, tak berdaya mengahdapi kebesaran dan kekuatan alam.

H. Manajemen Keperawatan
a. Pengkajian
Ada beberapa hal yang perlu dikaji sehubungan dengan kebutuhan tidur dan istirahat yaitu :
1. Kebiasaan tidur
Perawat harus memperhatikan :
a. Kebiasaan banyaknya tidur pasien
b. Kebiasaan menjelang tidur
c. Jam berangkat tidur
d. Waktu yang diperlukan untuk dapat tidur
e. Jumlah terjaga selama tidur
f. Obat-obat yang diminum pasien dan pengaruhnya terhadap tidur
g. Lingkungan tidur sehari-hari
h. Persepsi pasien terhadap kebutuhan tidur
i. Posisi tubuh waktu tidur
2. Simptom dan tanda-tanda klinis kebutuhan tidur
a. Pasien mengungkapkan rasa capai
b. Pasien mudah tersinggung dan kurang santai
c. Apatis
d. Warna kehitam-hitaman disekitar mata, konjungtiva merah
e. Sering kurang perhatian
f. Pusing
g. Mual
Bila gangguan tidur atau kurang istirahat ini berlangsung lama maka dapat terjadi gangguan tubuh. Beberapa tanda-tanda gangguan tidur yang perlu diperhatikan adalah :
1) Perubahan kepribadian dan perilaku : agresif, menarik diri atau depresi
2) Rasa capai meningkat
3) Gangguan persepsi
4) Halusinasi pandangan dan pendengaran
5) Bingung dan disorientasi terhadap tempat dan waktu.
6) Koordinasi menurun
7) Bicara tidak jelas
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi istirahat dan tidur
1) Penyakit yang disertai nyeri
2) Keadaan lingkungan yang tidak nyaman/tidak tenang
3) Kelelahan
4) Emosi tidak stabil
5) Beberapa jenis obat-obatan : penggunaan alkohol
3. Tahap perkembangan
Lama tidur seseorang tergantung pula pada usia
No Tingkat Perkembangan Pola tidur normal
1. BBL Tidur 14 – 18 jam/hari
Pernafasan teratur, gerak tubuh sedikit
50 % Tidur REM
Siklus tidur 45 sampai 60 menit
2. Bayi Tidur 12 sampai 14 jam/hari
20 sampai 30 % tidur REM
Tidur sepanjang malam dan tidur siang
3. Merangkak Tidur sekitar 11 s/d 12 malam/hari
( 1 s/d 3 tahun ) 25 % Tidur REM
Tidur sepanjang malam dan tidur siang
4. Pra sekolah Tidur sekitar 11 jam/hari
20 % tidur REM
5. Akil balik Tidur sekitar 7 sampai 8,5 jam/hari
20 % tidur REM
6. Dewasa muda Tidur 7 sampai 8 jam/hari
20 sampai 25 % tidur REM
7. Dewasa Tidur 7 sampai 8 jam/hari
pertengahan 20 % tidur REM mungkin mengalami
Insomnia dan sulit untuk dapat tidur
8. Dewasa tua Tidur sekitar 6 jam/hari
( diatas 60 thn ) 20 sampai 25 % tidur REM mungkin
Mengalami insomnia
Dan sering mengalami terjaga

4. Masalah – masalah tidur
a. Insomnia
Ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kuantitas maupun kualitas.
Jenis insomnia ada 3 macam :
1) Insomnia inisial ( tidak dapat memulai tidur )
2) Insomnia intermiten ( tidak dapat mempertahankan tidur/sering terjaga )
3) Insomnia terminal ( bangun secara dini dan tidak dapat tidur lagi )
Jenis insomnia juga dapat dibedakan menjadi 2 menurut sumber penyebab :
1) Insomnia primer
2) Insomnia skunder
Pada insomnia primer penyebab belum diketahui, sedang insomnia skunder penyebabnya :
a) Gangguan jiwa : skizofrenia, mania, depresi, anxietas.
b) Gangguan fisik : hipertiroid, kurang gizi, gagal jantung, gagal ginjal kronik, penyakit nyeri.
c) Pengaruh lingkungan : tempat baru, terlalu gaduh, temperature meningkat atau menurun, jet lag ( perjalanan jauh yang beda waktu 6 – 10 jam
d) Makan/minuman : Cafein, teh, coca cola
e) Obat-obatan : amfetamin, diuretika, kopi, minuman keras, nikotin
b. Hypersomnia
Kebalikan insomnia yaitu kelebihan tidur (tidur lebih 9 jam dimalam hari), penyebab adalah:
1) Gangguan psikologis ( depresi atau kegelisahan )
2) Gangguan fisik (kerusakan sistem saraf pusat, ganggguan ginjal, hati atau metabolisme )
c. Para somnia
Suatu rangkaian gangguan yang mempengaruhi tidur anak seperti somnabolisme (tidur berjalan), ketakutan, dan enuresis (ngompol). Cenderung terjadi pada tahap III dan IV dari tidur Non-REM, gangguan ini sering dialami anak secara bersamaan dan diturunkan dalam keluarga.
d. Narkolepsi
Serangan menggantung secara mendadak disiang hari. Penyebabnya tidak diketahui diperkirakan akibat kerusakan genetic sistem saraf pusat, yang mana tidur REM tidak dapat dikendalikan.
e. Apnea saat tidur
Henti nafas saat tidur, tanda-tanda yang dapat dialami ; mengorok ngantuk berlebihan, kadang-kadang insomnia
f. Sudden Infant death Syndrome/SIDS (sindroma kematian bayi mendadak). Gangguan ini dapat terjadi pada bayi usia 12 tahun.

2. Diagnosa keperawatan :
a. Insomnia sehubungan dengan :
- Keadaan stress
- Nyeri atau ketidaknyamanan
- Menjauhkan diri dari obat-obatan akibat kecanduan
- Olahraga tidak mencukupi atau rasa bosan
b. Gangguan tidur sehubungan dengan :
- Gaduh
- Apnea
c. Hipersomnia sehubungan dengan penyakit hati
d. Potensial cedera sehubungan dengan somnabolisme

3. Perencanaan / pelaksanaan tindakan
Tujuan keperawatan secara luas adalah memenuhi kebutuhan tidur.
Tujuan lebih khusus lagi adalah mencegah kelelahan, menjaga keseimbangan aktifitas dan istirahat, menghemat energi fisik, mental dan emosional.
Dalam membuat rencana keperawatan pada klien gangguan tidur perlu dipertimbangkan lingkungan fisik; ruangan bersih/rapi; suhu ruangan; lampu/pencahayaan; dan lingkungan psikologis.

4. Tindakan keperawatan
a. Latihan secara rutin
b. Menciptakan lingkungan terapeutik
c. Menghindari perangsangan di sore hari
d. Melakukan aktifitas relaksasi sebelum berangkat tidur seperti membaca, bermain dan lain-lain.
e. Berangkat tidur hanya kalau mengantur
f. Bila tak dapat tidur sampai malam, segera bangun untuk melakukan relaksasi sampai merasa mengantuk.
g. Khusus untuk kolaborasi medik; pada insomnia bila penyebabnya tidak jelas dapat diberikan hipnotika. Akan tetapi bila penyebab primernya diketahui maka penyebab utama ini yang harus diobati.
Bila penyebabnya gangguan psikiatrik maka diberikan obat-obat psikotropik (neuroleptika )
Bila penyebabnya depresi, maka diberikan obat anti depresan.
Bila penyebabnya cemas, maka diberikan obat anti anxietas.
Insomnia akibat stress dengan gangguan penyesuaian maka dilakukan psikoterapi yaitu mengatasi sumber stress dan mekanisme pembelaan yang benar.

5. Evaluasi
a. Terpenuhinya tidur baik kualitas maupun kuantitas tidur
b. Pulihnya energi sehingga kemudian dapat melakukan aktifitas kembali
c. Menunjukkan keadaan emosial yang lebih baik tidak mudah tersinggung.

Referensi
Salan, R., Iskandar, Y., Reo.P., dkk (1985). Psikiatrik Biologik, Yayasan Darma Graha, Kebayoran lama, Jakarta

Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Grebb (1996). Sinopsis Psikiatri, Kusuma, W (alih bahasa), Binarupa aksara, Jakarta.

Shives, L.R. (1998). Basic Concepts of Psychiatric-Mental Health Nursing, Lippincott, Philadelphia, New York

Senin, 19 Oktober 2009

FARMAKOLOGI

KULIAH FARMAKOLOGI

FARMAKOLOGI 2008

UNTUK MAHASISWA D III KEPERAWATAN

STIKES AISYIYAH SURAKARTA

By: Azizah Munaya, S.Farm., Apt

POKOK BAHASAN SETELAH UJIAN MID SEMESTER:

  1. ANTI BACTERIAL DRUGS
  2. OBAT-OBAT YG MEMPENGARUHI SISTEM PERNAFASAN
  3. OBAT-OBAT YG MEMPENGARUHI SISTEM PENCERNAAN
  4. OBAT-OBAT HORMON
  5. VAKSIN DAN IMMUNOSERUM
  6. NUTRIEN DAN ELEKTROLIT

ANTIBACTERIAL DRUGS

POKOK BAHASAN:

I. PENDAHULUAN

PENGGOLONGAN

ANTI TUBERKULOSIS

I. PENDAHULUAN

SUMBER ANTIBIOTIK :

1. Mikrooganisme

Basitrasin dan polimiksin àdr beberapa spesies Bacillus

Streptomisin dan tetrasiklin à Streptomyces sp

Gentamisin à Micromonospora purpurea

Monobaktam à Pseudomonas acidophila & Gluconobacter sp

2. Sintesis

Kloramfenikol

3. Semisintesis

Beberapa penisilin dan sefalosporin

Tujuan utama terapi antibacterial drugs:

Membunuh bakteri tanpa membahayakan jaringan yg terkena infeksi

Pada dasarnya mekanisme antibiotika mempunyai sifat:

BAKTERISIDAL (Membunuh Bakteri) dan BAKTERIOSTATIK (menghambat pertumbuhan bakteri).

Macam-macam golongan Antibiotik :

1. Penghambat Dinding Sel Bakterisidal

contoh : Penicillin, Sefalosporin, Vankomisin,

Bacitrasin, Imipenem, Aztreonam

2. Penghambat Sintesis Protein Bakterisidal

Contoh : Golongan Aminoglikosida

3. Penghambat Sintesis Protein Bakteriostatik

Contoh: Kloramfenikol, Eritromisin, Klaritromisin, Azitromisin, Klindamisin, Linkomisin, Tetrasiklin, Doksisiklin, dll

4. Zat Antibakteri Bakteriostatik lain

Contoh : Sulfonamid, Trimetoprim

Notes:

1. PENGHAMBAT DINDING SEL BAKTERISIDAL

à Membunuh bakteri dengan cara mencegah sintesis atau perbaikan dinding sel

A. PENICILLIN (GOL. Β-LAKTAM)

à Efektif melawan beragam bakteri termasuk sebagian besar organisme Gram positif

Mekanisme : menghambat ikatan silang komponen-komponen dinding sel

Penggunaan berlebihan à memicu terjadinya resistensi bakteri (karena pembentukan enzim penisillinase oleh bakteri)

FARMAKOKINETIK :

P.O/I.M/I.V à bisa masuk ke otak jika selaput otak mengalami peradangan

Disaring dan diekskresikan kedalam urin

Perlu penurunan dosis pada penderita disfungsi ginjal

Efek Samping :

Reaksi hipersensitivitas (dari ruam kulit sampai syok anafilaktik). Jarang timbul toksisitas syaraf, hati atau ginjal.

B. SEFALOSPORIN

Struktur mirip penicillin

Mekanisme dan efek samping : serupa dengan Penicillin

FARMAKOKINETIK :

Paling banyak dimetabolisme di dalam hati dan diekskresikan melalui ginjal

C. VANKOMISIN

Mekanisme :

Mencegah pemindahan prekusor dinding sel dari membran plasma ke dinding sel

Kegunaan klinis :

Drug of Choice untuk kolitis karena C. deficille. Infeksi yg diakibatkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus yang resisten terhadap penicillin.

FARMAKOKINETIK :

P.O/I.V absorbsi buruk , penetrasi buruk

Diekskresikan dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal.

Efek Samping :

Tromboflebitis, ototoksisitas, nefrotoksisitas.

Bila diberikan dg i.v cepat ; takikadia, kemerahan, hipotensi, nefrotoksisitas berat

D. BASITRASIN

Mekanisme :

Menghambat daur ulang pembawa (carrier) yang mengangkut prekusor dinding sel melintasi membran plasma.

Kegunaan klinis :

Organisme gram + yang menyebabkan infeksi mata dan kulit.

FARMAKOKINETIK :

Dipasarkan dalam kombinasi dengan polimiksin atau neomisin sebagai zat topikal.

Efek Samping :

Nefrotoksisitas berat jika diberikan secara i.v

II. PENGHAMBAT SINTESIS PROTEIN BAKTERISIDAL

GOL. AMINOGLIKOSIDA

Adalah penghambat sintesis bakterisidal

à Mengikat ribosom subunit 30S atau 50S dan menghancurkan kompleks inisiasi ribosom-mRNA, yang merupakan bagian penting untuk sintesis protein

Memiliki indeks terapi sempit à rentang antara kadar yg bakterisidal dan kadar yang toksik sempit à perlu pemantauan kadar obat dalam serum.

Contoh : Amikasin, Tobramisin, Gentamisin

FARMAKOKINETIK :

Pemberian secara i.v lambat atau i.m.

Tidak didistribusikan ke SSP atau mata

Diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal à perlu penurunan dosis untuk penderita disfungsi ginjal

Efek Samping :

Neurotoksisitas, ototoksisitas, vertigo, nefrotoksisitas

III. PENGHAMBAT SINTESIS PROTEIN BAKTERIOSTATIK

Mekanisme :

Menghambat sintesis protein tapi sifatnya Bakteriostatik

Dibagi menjadi 2 :

A. Berikatan dengan subunit 50S Ribosom

à zat yang dipilih untuk beberapa jenis infeksi

Misal : Kloramfenicol, Eritromisin, Azitromisin, Klindamisin, Linkomisin

1. KLORAMFENIKOL

Kegunaan klinis :

Drug of Choice untuk Salmonella typosa (demam tifoid), H. influenzae (meningitis atau epiglotitis)

Efek Samping :

Depresi sumsum tulang (anemia aplastik)

FARMAKOKINETIK :

P.O melewati sawar darah otak.

Dikonjugasi dengan glukoronida dalam hati.

Ekskresi melalui ginjal

à Perlu penurunan (penyesuaian) dosis pada penderita dengan gangguan hati dan ginjal.

2. ERITROMISIN

Kegunaan klinis :

DOC untuk Mycoplasma pneumoniae, C. diphteriae, Legionella.

Alternatif penicillin untuk infeksi streptococcus atau staphylococcus

FARMAKOKNETIK :

P.O à labil terhadap asam

Diminum dalam keadaan perut kosong

Dikonsentrasikan di hati dan diekskresikan dalam empedu (aktif)

Melintasi selaput otak yang meradang

3. KLARITROMISIN

Kegunaan klinis :

Untuk infeksi yang disebabkan Mycoplasma atau Pneumonia pneumococcal, infeksi saluran nafas bagian atas, dan infeksi kulit.

FARMAKOKINETIK :

Penggunaan secara p.o à dimetabolisme menjadi obat aktif oleh hati

Efek Samping :

Gangguan saluran cerna (kurang sering dibanding eritromisisn), sakit kepala.

Interaksi obat :

Dapat meningkatkan kadar plasma Teofillin dan Karbamazepin jika diberikan bersamaan.

4. AZITROMISIN (ZITHROMAX)

Kegunaan klinis :

sama seperti klaritromisin + untuk infeksi Clamydia tidak terkomplikasi

FARMAKOKINETIK :

P.O à waktu paruh panjang memungkinkan pemberian dosis 1 x sehari

Absorbsi terganggu oleh makanan à diminum dalam keadaan perut kosong

Diekskresi dalam empedu

Efek Samping :

Gangguan saluran cerna (kurang sering dibanding eritromisin), nyeri abdomen.

B. Berikatan dengan subunit 30S Ribosom

à mempunyai sedikit indikasi klinis

Misal : Tetrasilkin, Doksisiklin

TETRASIKLIN - DOKSISKLIN

Kegunaan klinis :

Bukan DOC untuk setiap mikroorganisme

Digunakan untuk mengobati jerawat dan infeksi Clamydia pada remaja.

FARMAKOKINETIK :

P.O merupakan Chelator kuat à jangan diberikan bersama susu/antasid

Tidak melewati sawar darah otak

Dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan oleh usus besar, direabsorbsi, dan diekskresi dalam urin dan feses

Efek Samping :

Gangguan saluran cerna,

Nefrotoksisitas (kurang pada doksisiklin),

Hepatotoksisitas,

Fotosensitivitas,

Pewarnaan gigi,

Peningkatan tekanan intrakranial (jarang terjadi).

IV. ZAT ANTIBAKTERIOSTATIK LAIN

1. SULFONAMID

Mekanisme :

Bersaing dengan PABA utuk bergabung kedalam folat à sintesis DNA, RNA dan protein terhambat

SPEKTRUM :

Luas mencakup bakteri gram positif dan Gram negatif

KEGUNAAN KLINIS :

Infeksi saluran kemih, profilaksis terhadap

demam reumatik

FARMAKOKINETIK :

Diabsorbsi baik dalam saluran cerna.

Mengendap dalam urin yang bersifat asam àperbanyak minum untuk mencegah pembentukan batu ginjal

Efek Samping :

- Kernikterus (peningkatan bilirubin bebas à

menyebabkan letargi, penurunan nafsu makan, nafas terhenti)

- Toksisitas ginjal

- Fotosensitivitas

- Hepatotoksisitas

2. TRIMETOPRIM

Mekanisme :

Menghambat kerja dihidrofolat reduktase yang mengubah asam dihidrofolat à asam tetrahidrofolat

SPEKTRUM :

Gram negatif enterik (Proteus, E. coli, Klebsiella, Enterobacter)

Kegunaan Klinis :

Infeksi saluran kemih

Otitis media akut pada anak-anak

Efek Samping :

Ruam, pruritis, gangguan saluran cerna, diskrasia darah

Pteridin + Para-amino benzoic acid (PABA)

Diblok oleh Sulfonamid

Asam dihidropteroat

Glutamat

Asam dihidrofolat

Diblok oleh Trimetoprim

Asam tetrahidrofolat



Kofaktor penting untuk sintesis DNA, RNA atau Protein

Gambar, tempat kerja Sulfonamid dan Trimetoprim dlm sel bakteri

TUBERKULOSIS (TBC)

DEFINISI

Tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi pernafasan menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

Kuman à masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernafasan yang kemudian masuk kedalam paru-paru.

Daya penularan dari seorang penderita TBC ditentukan :

- Banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita,- Penyebaran kuman-kuman tersebut melalui udara serta dikeluarkan bersama dahak.

GEJALA

Gejala umum penderita yang diduga menderita TBC antara lain :

    1. Batuk yang terus-menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih
    2. Mengeluarkan dahak yang bercampur darah, sesak nafas dan rasa nyeri di dada
    3. Badan lemah, kehilangan nafsu makan dan berat badan turun, kurang enak badan (malaise), berkeringat (berkeringat malam tanpa disertai kegiatan), demam

Bila gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan penderita TBC maka kemungkinan besar seseorang tersebut menderita TBC.

Diagnosa TBC ditegakkan dengan melakukan :

pemeriksaan bakteriologi terhadap dahak penderita, pemeriksaan radiologis dan tes tuberkulin.

Tujuan terapi TBC dg Obat Antituberkulosis (OAT) adalah :

Untuk menyembuhkan penyakit dan untuk memutuskan rantai penularan penyakit.

Obat-obat antituberculosis yang biasa digunakan dalam pengobatan TBC antara lain : Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamid, Etambutol dan Streptomicin.

Pengobatan TBC à paling sedikit dengan 2 obat à karena sering terjadi resistensi akibat penggunaan obat tunggal

Drug of Choice (1st line therapy) TBC adalah :

Isoniazid dan Rifampicin

Etambutol, Pyrazinamid dan Streptomisin

à digunakan bersama-sama Isoniazid atau Rifampicin

à kurang efektif bila digunakan sendiri

OBAT-OBAT ANTITUBERCULOSIS

1. ISONIAZID

Mekanisme :

Menghambat sintesis asam mikolat dalam dinding Mycobacterium tuberculosis.

FARMAKOKINETIK

p.o, didistribusikan secara luas

Mengalami N-asetilasi di hati dan diekskresi melalui ginjal

Efek Samping :

Neuropati perifer, hepatitis, hepatotoksisitas

2. RIFAMPICIN

Mekanisme :

Memblok unit polimerase RNA bakteri à menghentikan sintesis RNA bakteri

FARMAKOKINETIK :

Penggunaan peroral

Didistribusi luas, metabolisme di hati dan ekskresi melalui urin

Efek Samping :

Sekresi (urin, keringat) menjadi merah.

Interaksi Obat:

Menginduksi enzim sitokhrom P450 à dapat meningkatkan metabolisme obat lain.

3. ETAMBUTOL

Mekanisme :

Menghambat sintesis asam mikolat dalam dinding sel bakteri (mekanisme belum dipastikan)

FARMAKOKINETIK :

Penggunaan peroral

Mencapai kadar 50% dalam SSP

Dipekatkan dalam tubulus-tubulus ginjal à ekskresi mll ginjal

SELAMAT BELAJAR

THANK YOU